Kasus Reynhard Sinaga menggemparkan publik, tidak hanya Inggris dan Indonesia tetapi juga dunia. Reynhard Sinaga disebut-sebut sebagai predator seks terbesar dalam sejarah Inggris ("most prolific rapist in British legal history"). Berdasarkan Putusan Pengadilan Manchester, Reynhard terbukti bersalah melakukan kejahatan seksual terhadap 48 pria berbeda selama kurun waktu 2015-2017.





   Tidak hanya itu, dugaan polisi bahkan menyebut Reynhard telah mencabuli kurang lebih 195 pria muda yang tidak sadarkan diri dengan modus pemberian obat bius GHB (gamma-hydroxybutyric acid), hanya saya identitasnya beberapa pria tersebut belum diketahui. Dugaan ini tentu bukan tanpa sebab, karena polisi telah menemukan ratusan video kejahatan seksual yang dilakukan dan direkam oleh Reynhard sendiri sebesar 3,28 terabytes di dalam telepon genggam miliknya. Bukan sesuatu yang janggal apabila pengadilan menjatuhkan vonis seumur hidup atas kejahatan seksual yang demikian 'luar biasa'.

   Latar belakang keluarga dan pendidikan serta perilaku Reynhard yang merasa tidak bersalah pun tidak lepas dari sorot media, penyidik Manchester bahkan menilai Reynhard memiliki gangguan narsistik hingga psikopat. Berita tentang kasus Reynhard Sinaga terus bermunculan dan meluas di masyarakat dengan beragam sudut pandang sejak vonis kasus ini dijatuhkan 6 Januari 2020. Berita ini mungkin akan terus menjadi pembahasan dalam beberapa pekan ke depan.

   Pemberitaan-pemberitaan ini menyisakan pertanyaan besar tentang mengapa kasus yang telah diperiksa dan pelakunya telah ditangkap sejak 2017, baru dipublikasikan oleh media pada awal 2020? Rupanya kepolisian dan pengadilan Manchester menerapkan aturan media blackout. Apa arti aturan ini? Apakah ini berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (asas di mana seseorang dianggap tidak bersalah hingga pengadilan menyatakannya bersalah.) atau berhubungan dengan tindakan represi terhadap pers? Penjelasan berikut penting untuk dipahami agar tidak menimbulkan distorsi pemahaman.



   Fungsi "Media Blackout"
   Media blackout atau news blackout merujuk pada situasi di mana otoritas tertentu memberlakukan tindakan penyensoran atau larangan mempublikasikan berita dengan topik tertentu. Melansir penjelasan artikel dari Ryerson University's School of Journalism, menurut sejarah media blackout dilakukan pemerintah untuk mengkontrol informasi demi agenda-agenda politik tertentu dari pemerintah. Hal ini sampai sekarang bahkan masih dilakukan di negara-negara dengan sistem totaliter seperti Tiongkok dan Korea Utara. Contoh konkret saat ini di antaranya sensor berita pro demokrasi Hong Kong di media Tiongkok.

   Namun, di negara-negara yang menganut sistem demokrasi dan menjamin kebebasan pers serta supremasi hukum, media blackout memiliki fungsi dan dijalankan dengan mekanisme yang jauh berbeda. Media blackout tidak lagi ditujukan untuk agenda politik pemerintah, melainkan diarahkan untuk melindungi korban kejahatan dan keamanan nasional.

   Beberapa kasus menunjukkan bahwa media blackout berhasil mencapai tujuannya tersebut, seperti kasus penculikan jurnalis CBC Kanada Melissa Fung 12 Oktober 2008 di Afghanistan. Fung diculik selama 28 hari dan atas rekomendasi ahli keamanan, berbagai media saat itu sepakat untuk melakukan blackout demi kepentingan Fung. Selama 28 hari tersebut tidak ada berita apapun tentang penculikan Fung, hingga akhirnya Fung dapat dibebaskan tanpa tebusan apapun pada 8 November 2008.

   Kasus serupa juga dialami koresponden New York Times bernama David Rohde yang diculik Taliban selama 8 bulan. Kasus ini juga dilindungi oleh media blackout hingga pembebasannya. Media blackout di sini tentu berfungsi untuk menurunkan nilai tawar dari penculik atau penyandera. Dengan adanya pemberitaan luas dari media, pelaku merasa memiliki posisi tawar yang tinggi karena ancaman dan identitas pelaku dikenal dan ditakuti oleh publik. Sekalipun bukan menjadi satu-satunya faktor keselamatan korban, media blackout tetap menjadi bagian dari upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi korban dalam kasus-kasus tertentu.

   Merujuk pada kasus Reynhard Sinaga, media blackout yang dilakukan juga tidak lepas dari kepentingan korban. Kejahatan seksual dengan modus apapun seperti yang dilakukan Reynhard Sinaga jelas menyisakan trauma bagi korban, baik secara fisik maupun mental. Studi bertajuk Prevalence and Timing of Sexual Assaults in a Sample of Male and Female US Army Soldiers (1998) menunjukkan, kejahatan seksual pada korban pria meninggalkan perasaan traumatis malu, kekhawatiran akan maskulinitas, menyalahkan diri sendiri, ragu pada dirinya sendiri. Akibatnya lagi para korban pria ini cenderung tidak melaporkan kejahatan yang dialaminya.



   Pertimbangan ini yang tentunya menjadi fokus kepolisian dan pengadilan yang memeriksa kasus Reynhard Sinaga. Apabila media melaporkan secara luas dan rinci atas kasus Reynhard sebelum vonis, maka hal ini justru mencegah para korban melapor dan memberikan bukti pada penegak hukum. Padahal kepolisian membutuhkan identitas korban sebagai bukti yang diyakini jumlahnya sangat besar. Selain itu, pengadilan juga mempertimbangkan kepentingan penegakan hukum lainnya karena kasus ini dijalankan pada empat persidangan terpisah. Media blackout mencegah juri-juri antar persidangan tersebut mengetahui bukti yang ada satu sama lain.

   Pemahaman atas fungsi media blackout tersebut di atas menunjukkan bahwa poin utama tindakan ini ada pada kepentingan penegakan hukum, mendukung pembuktian, dan secara khusus dapat ditujukan untuk melindungi kepentingan korban. Pemberitaan yang luas dapat memicu terjadinya secondary victimization (Wolhuter, dkk, 2009), artinya korban tidak hanya mengalami penderitaan akibat kejahatan saja, tetapi juga penderitaan lanjutan akibat respon pihak lain terhadap korban kejahatan. Hal ini dapat meliputi stigma negatif dari masyarakat hingga peliputan media yang tidak pantas atau mengganggu hak pribadi korban.

   Media blackout pada prinsipnya tidak pernah ditujukan untuk kepentingan pelaku (tersangka/ terdakwa) dengan asumsi perlindungan terhadap identitas pelaku sebagai asas praduga tak bersalah. Media blackout juga tidak berkaitan dengan sikap represi pemerintah terhadap kebebasan pers, karena tindakan ini secara mekanisme didasarkan pada putusan penegak hukum dengan ukuran-ukuran objektif tertentu atau kesepakatan media-media pers.Relevansi di IndonesiaJika mengacu pada penerapannya di Indonesia, maka media blackout belum diatur secara tegas. Relevansi terkait mungkin dapat ditemukan pada pengaturan tentang sidang tertutup untuk kasus-kasus kesusilaan, anak (KUHAP dan UU Peradilan Anak), atau menyangkut rahasia negara (UU Militer). Kode Etik Jurnalistik terkait juga menegaskan tentang penyensoran berita kasus kejahatan kesusilaan dan anak.

   Pengaturan-pengaturan tersebut sebenarnya bergerak pada spektrum yang sama yakni perlindungan kepentingan negara dan perlindungan bagi kelompok rentan yakni korban dan anak dalam kasus kejahatan. Namun, pasal ini tetap tidak menghalangi penyebaran informasi tentang perkembangan suatu kasus sejak awal pemeriksaan, padahal fungsi media blackout justru untuk mencegah dampak negatif dari penyebaran informasi tersebut sejak awal.

   Tidak hanya itu, penerapan aturan tentang sidang tertutup pun masih dipahami secara sempit. Sidang tertutup masih dimaknai sebatas pada ruang pengadilan yang tidak dihadiri masyarakat, tetapi materi persidangan, bahkan informasi dan identitas tentang korban masih menjadi ulasan media dan konsumsi publik. Keadaan ini tentu sangat merugikan korban, memicu trauma yang berkepanjangan. Aturan media blackout dibutuhkan dalam hal ini, termasuk mempertegas makna sidang tertutup.

   Aturan ini dapat dirumuskan dengan ukuran-ukuran objektif, misalnya untuk kasus kejahatan terorisme yang belum tuntas dan pelaku utamanya belum tertangkap atau kasus kejahatan kesusilaan skala masif seperti yang terjadi pada kasus kasus Reynhard Sinaga. Pada aturan media blackout, larangan publikasi tidak berarti pemblokiran terhadap media tersebut, tetapi diarahkan pada penundaan dan penyensoran berita hingga jangka waktu tertentu. Artinya, media tetap meliput dan mencatat perjalanan suatu kasus sebagai bentuk akuntanbilitas penegakan hukum, tetapi publikasi harus dilakukan dalam tempo yang tepat disertai penyensoran yang ketat pada subjek atau hal tertentu, khususnya korban dan keluarga.