Agama bukanlah alat politik. Penolakan ini diungkap oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj dan Imam Besar Al-Azhar, Mesir, Ahmad Muhammad Ath-Thayeb.


  Menurutnya, seperti pandangan Ahmad bahwa menjadikan agama sebagai alat politik harus dihilangkan dan dilawan.



  "Beliau menjawab itu, semua harus dihilangkan dan harus kita lawan, jangan sampai agama jadi politik sesaat," ujar Said usai bertemu dengan Ahmad di Kantor PBNU, Jakarta Pusat pada Rabu (2/5).




  Selain itu, Said juga mengaku setuju dengan pandangan Ahmad terkait media sosial yang banyak digunakan untuk hal-hal bersifat negatif.


  Menurutnya, walau memiliki sisi positif, media sosial justru banyak digunakan untuk hal-hal seperti adu domba, fitnah, hingga penyebaran ujaran kebencian dan berita bohong.



  "Kita berhadapan dengan medsos (media sosial), isinya memecah-belah dan adu domba, saya juga setuju," ucap dia.




  Lebih dari itu, Said berharap kedatangan Ahmad untuk pertama kali ke Kantor PBNU dapat membawa manfaat dan menjadi insipirasi untuk dunia Muslim.


  Said berpandangan, posisi Ahmad yang sangat penting di Tmur Tengah, khususnya Mesir, dapat bermanfaat untuk mendiseminasi pemikiran-pemikiran Islam wasatiyyat ala nusantara sebagai insipirasi gagasan bagi peradaban yang lebih damai.



  Ahmad sebelumnya menjadi pembicara dalam Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Ulama dan Cendekiawan Muslim Dunia tentang Wasatiyyah Islam di Bogor, Jawa Barat pada Selasa (1/5).




  Dalam pembukaan acara itu, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia mendukung penerapan wasatiyyah (jalan tengah) Islam dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, hal itu sudah dilakukan umat Muslim Indonesia sehingga keberagaman masih terjaga hingga kini.


  Dalam kesempatan terpisah, Jokowi sempat menyebut bahwa Indonesia mendorong dan berkomitmen untuk lahirnya poros wasatiyyah Islam dunia.



  Jokowi juga menuturkan Indonesia merupakan negara besar dengan keberagaman suku, agama, ras, bahasa, dan latar belakang masyarakatnya. Keberagaman itu juga terjaga karena memiliki Pancasila sebagai dasar negara dan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyannya. 


  Survei nasional yang dikeluarkan Voxpol Center menyambut perhelatan Pilpres 2019 menyebut, kampanye dengan acara keagamaan lebih efektif dalam menjaring calon pemilih ketimbang kampanye terbuka. Dari 1.600 responden, setidaknya 26,1% menganggap acara semodel pengajian hingga tabligh akbar efektif dan mengena di hati masyarakat dalam helatan politik. Sedangkan hanya 13,9% masyarakat yang menganggap kampanye akbar efektif. 

  Rapat akbar bahkan masih kalah dengan kampanye bakti sosial yang dipilih 16,3% responden. Sedangkan dialog tatap muka dan interaktif menjadi kampanye yang paling disukai responden dengan 36,7% responden beranggapan hal tersebut merupakan cara kampanye paling efektif. "Artinya kampanye terbuka hanya pertunjukkan saja, terkadang ilusi," kata Direktur Eksekutif Voxpol, Pangi di Jakarta, Selasa, (9/4).  Pangi mengatakan, kampanye terbuka yang telah dilakukan Prabowo Subianto (Prabowo) dan akan digelar Joko Widodo (Jokowi) dalam rangka Pilpres 2019, hanya memberi efek menaikkan mental ketika ramai dihadiri massa. Namun kelemahannya, jumlah massa masih terhitung kecil apabila dibandingkan jumlah pemilih yang akan mencoblos. "Jadi secara mental bertarung bisa menurunkan atau menaikkan (pasangan calon)," kata Pangi. Pangi juga menganalisis Prabowo mencoba menggabungkan kampanye akbar dengan acara keagamaan untuk mendapat hasil maksimal. Namun belakangan hal itu dikritik oleh rekan koalisinya sendiri yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Soal agama, hasil survei Voxpol juga menyebut tokoh agama/tokoh masyarakat masih memegang peranan besar dalam pilihan politik responden. 

  Tercatat, 21,7% responden menganggap tokoh agama dan masyarakat dapat mempengaruhi pilihannya meski masih kalah dengan pilihan berlandaskan diri sendiri yakni 31,1%. "Itu kalau ditanya patron politiknya," kata dia.  Ia mencontohkan peran tokoh keagamaan sebagai patron politik pernah terjadi di Pemilihan Gubernur Jawa Barat tahun lalu. Saat itu, tokoh agama dan ulama dapat mengunci suara kepada salah satu pasangan calon. Dampaknya, anomali terjadi di mana pasangan tersebut mendapatkan limpahan suara. Survei Voxpol ini dilakukan selama 15 hari, yakni sejak tanggal 18 Maret hingga 1 April dan melibatkan 1.600 responden di 34 provinsi. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode multistage random sampling dengan toleransi kesalahan alias margin of error 2,45% dengan tingkat kepercayaan 95%. Pekan lalu, pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA menyebut, rentang elektabilitas Jokowi-Ma'ruf Amin di kelompok pemilih yang mengasosiasikan dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU) tercatat sebesar 62,4%-68,8 %. Sedangkan elektabilitas pasangan Prabowo-Sandiaga unggul di segmen pemilih yang dekat dengan Muhammadiyah, yakni sebesar 51,3%-57,7%.